Last Updated on November 10, 2021 by prooffic
Kali ini kita akan membahas mengenai etnomatematika dalam pembelajaran matematika. Istilah tersebut akhir-akhir ini menjadi salah satu topik kajian yang dianggap penting dalam pendidikan matematika. Isi pembahasan berikut diambil dari beberapa artikel ilmiah dan platfotm lainnya yang disajikan di daftar pustaka pada bagian akhir.
**Selamat menikmati**
Terdapat berbagai kebudayaan-kebudayaan yang diciptakan oleh manusia hingga saat ini. Di antara kebudayaan-kebudayaan tersebut, ada yang meninggalkan jejak (berupa peninggalan) maupun tidak. Selain itu, ada pula kebudayaan yang masih eksis hingga sekarang, serta ada pula kebudayaan yang telah musnah.
Salah satu kebudayaan yang dapat dilihat peninggalannya hingga sekarang adalah kebudayaan Mesir Kuno. Peninggalan tersebut berupa Piramida yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Aspek paling menonjol yang dapat dilihat adalah bentuk geometris dari bangunan tersebut, berupa limas segi empat. Selain kebudayaan Mesir Kuno, kebudayaan lainnya adalah Kebudayaan Romawi. Ini terlihat dari peninggalannya berupa Colosseleum di Roma, Italia. Bentuknya menyerupai lingkaran, dengan dekorasi-dekorasi geometris di dinding-dindingnya. Kebudayaan Islam di Andalusia juga menyisakan beberapa istana dengan unsur-unsur geometris yang sangat indah.
Dapat dilihat bahwa kebudayaan-kebudayaan tersebut tidak lepas dari matematika. Dapat pula dikatakan bahwa matematika berkembang dari keinginan masyarakat pada suatu waktu tertentu untuk membuat sebuah kontruksi hingga akhirnya menjadi seperti sekarang ini. Sehingga pada dasarnya matematika telah tertanam dalam diri masyarakat.
Matematika dalam masyarakat tidak hanya berkaitan dengan bangunan-bangunan megah, tetapi juga pada berbagai permainan (olahraga) dan karya seni seperti batik dan sebagainya. Oleh karena itu, matematika yang berkembang antar komunitas adalah berbeda. Ini tergantung dari komunitas yang memanfaatkannya. Dari matematika dan budaya tersebut, muncullah istilah etnomatematika. Istilah tersebut mengacu pada titik temu antara matematika dan budaya.
Etnomatematika juga dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, yaitu dengan pembelajaran matematika berbasis budaya. Salah satu keberhasilan dari Cina dan Jepang dalam pembelajaran matematika adalah dengan menerapkan etnomatematika dalam pembelajaran matematikanya (Achor dkk, 2009). Dengan etnomatematika, siswa akan dihadapkan pada kondisi nyata terkait dengan masalah-masalah yang dapat mereka jumpai di kehidupan sehari-sehari, terutama di masyarakat lingkungan mereka. Ini akan menghindari pembelajaran yang terlalu teoritis. Dengan etnomatematika, siswa akan langsung menemukan penerapan matematika yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan pencapaian belajarnya.
Pembahasan etnomatematika dalam pembelajaran matematika berikut akan dibagi menjadi beberapa bagian.
Pengertian Budaya
Karakter bangsa tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya tersebut pastinya tidak terlepas dari budaya itu sendiri. Budaya didefinisikan sebagai seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku (Marvins, 1999). Begitu juga dengan yang dikatakan oleh Suparlan (1981) bahwa budaya adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek: (1) Kehidupan Spritual; (2) Bahasa dan Kesustraan; (3) Kesenian; (4) Sejarah; dan (5) Ilmu Pengetahuan (Wahyuni, dkk, 2013). Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Daoed Joesoef (1982) yang menyatakan bahwa budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu dan di suatu kurun tertentu. Kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam konteks ini tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan nilai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat.
E.B. Taylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain (Rahmawati dan Muchlian dalam Ratna, 2005). Sedangkan menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut mengartikan bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat.
Untuk memudahkan pembahasan, kebudayaan dibagi menjadi tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, meliputi:
- Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusastraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
- Sistem pengetahuan, meliputi science (ilmu-ilmu eksak) dan humanities (sastra, filsafat, sejarah, dsb).
- Organisasi sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
- Sistem peralatan hidup dan teknologi, meliputi pakaian, makanan, alat-alat upacara, dan kemajuan teknologi lainnya.
- Sistem mata pencaharian hidup.
- Sistem religi, baik sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh, neraka, surga, maupun berupa upacara adat maupun benda-benda suci dan benda-benda religius (candi dan patung nenek moyang) dan lainnya.
- Kesenian, dapat berupa seni rupa (lukisan), seni pertunjukan (tari, musik,) seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu, candi, dsb), berupa benda-benda indah, atau kerajinan.
Etnomatematika
1. Definisi Etnomatematika
Istilah ethnomathematics, yang selanjutnya disebut etnomatematika, diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut D’Ambrosio adalah:
The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from techné, and has the same root as technique (Rosa & Orey 2011)
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tics “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:
“The mathematics which is practiced among identifiable cultural groups such as national-tribe societies, labour groups, children of certain age brackets and professional classes” (D’Ambrosio, 1985)
Artinya: “Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional” (D’Ambrosio, 1985). Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi:
“I have been using the word ethnomathematics as modes, styles, and techniques (tics) of explanation, of understanding, and of coping with the natural and cultural environment (mathema) in distinct cultural systems (ethno)” (D’Ambrosio, 1999, 146).
Artinya: “Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)” (D’Ambrosio, 1999, 146).
Dari definisi tersebut, etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika yang dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat adat, dan lainnya. D’Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).
Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya.
Sardjiyo Paulina Pannen (melalui Supriadi, 2005) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki, diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya, yaitu substansi dan kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta peran budaya. Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada sekedar pemahaman mendalam (inert understanding).
Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksi aktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks & Brooks, 1993, dan Krajcik, Czerniak Berger,1999 dalam Fahrurrozi, 2015). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu. Salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya adalah etnomatematika (ethnomathematics).
Matematika dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat sedangkan matematika merupakan pengetahuan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Namun terkadang matematika dan budaya dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak berkaitan.
Bishop (1994) menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya Pinxten (1994) menyatakan bahwa pada hakekatnya, matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya (dalam Hardiarti, 2017). Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika.
Astri Wahyuni, dkk (2013:2) menyatakan bahwa salah satu yang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan matematika adalah etnomatematika. Maksudnya, membuat jembatan antara budaya dan matematika adalah langkah penting untuk mengenali berbagai cara berpikir yang dapat menyebabkan berbagai bentuk matematika, inilah bidang yang disebut etnomatematika. Hal ini dapat diartikan bahwa berbagai konsep matematika dapat digali dan ditemukan dalam budaya sehingga dapat memperjelas bahwa matematika dan budaya saling berkaitan, matematika dapat lahir dari budaya, matematika dapat digali dalam budaya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber belajar matematika yang konkret dan ada di sekitar siswa.
Lebih lanjut, Bishop dalam Hardiarti (2017) menyatakan bahwa etnomatematika dapat dibagi menjadi enam kegiatan mendasar yang selalu dapat ditemukan pada sejumlah kelompok budaya. Keenam kegiatan matematika tersebut adalah aktivitas: menghitung/membilang, penentuan lokasi, mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan.
Objek etnomatematika merupakan objek budaya yang mengandung konsep matematika pada suatu masyarakat tertentu. Sebagaimana pendapat Bishop, maka objek etnomatematika digunakan untuk kegiatan matematika seperti aktivitas menghitung, penentuan lokasi, mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan. Objek etnomatematika tersebut dapat berupa permainan tradisional, kerajinan tradisional, artefak, dan aktivitas (tindakan) yang berwujud kebudayaan.
2. Sejarah Etnomatematika
Etnomatematika merupakan bidang yang relatif baru. Bidang tersebut tertarik pada titik temu antara matematika dan kebudayaan. Secara tradisional, pandangan yang dominan melihat bahwa matematika bebas dari budaya, sebuah fenomena umum, dan etnomatematika muncul setelah etnosains lainnya. Diantara para matematikawan, etnografer, psikologis dan edukasionalis, Wilder, White, Fettweis, Luquet dan Raum dapat dianggap sebagai pelopor utama dari etnomatematika.
Dalam sebuah pidato yang berjudul ‘Dasar-dasar Kebudayaan Matematika’, tahun 1950 pada kongres matematika internasional, Raymode L. Wilder meyatakan bahwa bukan merupakan hal yang baru untuk melihat matematika dari persfektif kebudayaan. Antropologis telah melakukannya, tetapi karena pengetahuan mereka tentang matematika secara umum sangatlah terbatas, reaksi mereka biasanya terdiri dari komentar yang tersebar mengenai jenis-jenis aritmatika yang ditemukan dalam bentuk budaya primitif.
Wilder menegaskan bahwa ada beberapa pembatas antara latihan dan konsep yang sulit untuk menentukan apakah etnomatematika termasuk dalam matematika ataupun di luar matematika. Wilder kemudian menguraikan idenya dalam dua buku, Evolution of Mathematical Concepts (1968) dan Mathematics as a Cultural System (1981).
Sementata itu, White memulai penyelidikannya dengan pertanyaan ‘apakah kebenaran matematis berada di dunia luar, yang ditemukan oleh manusia, atau kebenaran tersebut adalah rekaan manusia?’. Dalam mencari jawabannya, ia menegaskan bahwa ‘matematika secara keseluruhan, kebenaran dan kenyataanya, adalah bagian dari kebudayaan manusia, dan menyimpulkan dengan pernyataan bahwa kebenaran matematis ditemukan tetapi juga rekaan manusia. Dia menegaskan bahwa meskipun kebenaran matematis adalah hasil dari pemikiran manusia, kebenaran ditemui dan ditemukan oleh setiap individual dalam kebudayaan matematis yang ia kembangkan. Bagi White, matematika tidak berpangkal dari Euclid dan Phytagoras – atau bahkan Mesir Kuno ataupun Mesopotamia – tetapi matematika adalah perkembangan dari pemikiran yang bermula dari asal usul manusia dan kebudayaan satu juta tahun yang lalu.
Wilder dan White tampaknya tidak mengetahui penelitian yang dilakukan oleh matematikawan, etnologis dan pedagogis Jerman, Fettweiss (1881-1967) pada pemikian matematis dan kebudayaan, atau refkleksi dari psikolog Perancis Luquet pada asal usul kebudayaan dari gagasan matematis. Selain itu, buku Raum (1938), Arithmetica in Africa, tidak begitu dikenal bagi para matematikawan dan antropologis di masanya. Buku tersebut memuat materi-materi dari kuliah yang diberikan di Colonial Department of the University of London Institute of Education. Prakata menyampaikan bahwa pendidikan tidak bisa menjadi efektif kecuali jika pendidikan berdasarkan pada kebudayaan dan minat siswa. Salah satu prinsip pembelajaran yang baik menetapkan pentingnya pemahaman dari latar belakang kebudayaan dari murid dan menghubungkan pembelajaran di sekolah dengannya.
Matematikawan, antropologis dan pendidik lainnya lambat untuk mengambil refleksi dari Wilder, White, Fettweis, Luqet dan Raum ini. Ide yang berlaku di setengah pertama abad tersebut adalah bahwa matematika adalah universal, pada dasarnya merupakan bentuk apriotistik dari ilmu pengetahuan. Reduksionis cenderung mendominasikan pendidikan matematika, dengan model bebas budaya tentang pengertiannya secara penuh.
Pada tahun 1970-an, faktor-faktor pervasif dikombinasikan untuk mendorong pikiran bukan hanya pada kedudukan matematika di sekolah tetapi juga secara umum di dalam masyaratakat. Sekaligus, pertaanyaan tentang peran penelitian pendidikan matematika, dan semua implikasi dari penelitian tersebut untuk pengembangan kurikulum dan untuk proses belajar mengajar, mulai ditanyakan. Di antara faktor-faktor pervasif tersebut adalah:
- Kegagalan pemindahan kurikulum “Matematika Baru” yang dilakukan secara tergesa-gesa dari utara ke selatan pada tahun 1960-an;
- Kepentingan yang dikaitkan dengan negara dari Dunia Ketiga tentang konsep “Pendidikan untuk semua”, termasuk pendidikan matematika, dalam pencarian untuk kemandirian ekonomi, dan
- Kekhawatiran publik tentang keterlibatan matematika dan pendidikan matematika dalam perang Vietnam.
Di akhir 1970-an dan di awal 1980-an, kesadaran yang tumbuh tentang aspek sosial dan kebudayaan matematika dan pendidikan matematika mulai muncul dalam jajaran matematikawan. Bukti untuk mendukung pernyataan ini bisa ditemukan dalam rangkuman sidang di beberapa pertemuan Internasional dari matematikawan, pendidik matematika, dan pembuat kebijakan publik di mana tujuan kemasyarakatan dari pendidikan matematis sungguh dianggap. Contohnya, di kongres Pendidikan Matematika Internasional 1976 (ICME3, Karlsruhe, Jerman), konferensi pada pengembangan matematika di negara dunia ketiga 1978 (Khartoum, Sudan), Workshop 1978 pada Matematika dan Dunia Nyata, sidang pada matematika dan masyarakat di kongres matematikawan international (Helsinki, Finlandia), symposium 1982 konferensi karibia pada matematika pada manfaat untuk masyaratakat (Paramaribo, Suriname)
Ubiratan D’Ambrosio, matematikawan dan pendidik matematika Brazil, memainkan peranan yang dinamis dalam inisiatif ini. Selama periode tersebut, dia meluncurkan program etnomatematisnya, dan di Kongress Pendidikan Matematika Internasional keempat di 1984 (ICME4, diadakan di Adelaide, Australia), ia menyampaikan kuliah dalam pleno pembukaan tentang pemikirannya pada ‘dasar-dasar sosial-budaya untuk pendidikan matematika’.
D’Ambrosio (1990) mengajukan program etnomatematis sebagai sebuah metodologi untuk membawa dan manganalisa proses generasi, transmisi, penyebaran dan pelembagaan dari pengetahuan matematis dalam sistem kebudayaan yang berbeda-beda. D’Ambrosio mambandingkan “matematika akademik”, yatu matematika diajar dan dipelajari di sekolah, dengan etnomatematika, yang ia deskripsikan sebagai matematika ‘yang dipraktekkan di antara kelompok budaya yang dapat diidentifikasi, seperti masyarakat suku nasional, kelompok buruh, anak-anak dengan usia tertentu, kelas profesional, dan sebagainya’.
3. Etnomatematika sebagai Bidang Penelitian
Penelitian tentang etnomatematika terus dikembangkan. Richardo (2016) melakukan penelitian mengenai peran etnomatematika dalam penerapan pembelajaran matematika pada kurikulum 2013. Hasil penelitian tersebut menunjukkkan bahwa hadirnya etnomatematika dalam pembelajaran matematika memberikan nuansa baru bahwa belajar matematika tidak hanya terkungkung di dalam kelas tetapi juga dunia luar dengan mengunjungi ataupun berinteraksi dengan kebudayaan setempat sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran matematika. Sementara itu, dilihat dari sisi pendekatan pembelajaran, maka etnomatematika selaras dengan pendekatan pembelajaran matematika yang dapat diterapkan dalam kurikulum 2013.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa etnomatematika memiliki hubungan dengan konsep-konsep matematika, diantaranya penelitian oleh Laurens (2016) tentang analisis etnomatematika dan penerapannya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang menunjukkan bahwa beberapa konsep matematika yang diajarkan melalui budaya Maluku dapat digunakan untuk memahami konsep bilangan, pecahan, dan geometri. Penelitian lain oleh Zayyadi (2017) tentang eksplorasi etnomatematika pada batik Madura menunjukkan bahwa konsep-konsep matematika yang terdapat pada motif batik Madura adalah garis lurus, garis lengkung, garis sejajar, simetri, titik, sudut, persegi panjang, segitiga, lingkaran, jajargenjang dan konsep kesebangunan. Selanjutnya, penelitian oleh Abi (2015) tentang ekplorasi etnomatematika pada suku Amanuban dan hubungannya dengan konsep-konsep matematika menunjukkan bahwa konsep matematika telah dimiliki dan dihidupi masyarakat sejak lama. Hal ini terealisasi dari bentuk etnomatematika suku Amanuban yang memuat banyak konsep-konsep matematika terutama dalam bidang geometri dan aljabar.
Dari beberapa hasil penelitian mengenai etnomatematika tersebut, dapat disimpulkan bahwa etnomatematika yang dimiliki tiap-tiap daerah memiliki hubungan dengan konsep-konsep matematika yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran tingkat sekolah dasar maupun menengah. Selain itu, etnomatematika juga sangat erat kaitannya dengan konsep matematika pada topik geometri.
Nilai – Nilai Matematika bagi Masyarakat
Selama ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam pembelajaran matematika yang disampaikan para guru belum menyentuh ke seluruh aspek yang mungkin. Matematika dipandang sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja, sehingga mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia (Soedjadi, 2007). Kedua pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan sesuai dengan pertumbuhan matematika itu sendiri.
Namun akibat atau dampak dari rutinitas pengajaran matematika selama ini, maka pandangan yang menyatakan matematika semata-mata sebagai alat menjadi tidak tepat dalam proses pendidikan anak bangsa. Banyak terjadi guru lebih menekankan mengajar alat, guru memberitahu atau menunjukkan alat itu, bagaimana alat itu dipakai, bagaimana anak belajar menggunakannya, tanpa tahu bagaimana alat itu dibuat ataupun tanpa mengkritisi mengapa alat itu dipakai. Bahkan, tidak sedikit guru yang terpancing untuk memenuhi target nilai ujian yang tinggi sehingga banyak nilai-nilai lain yang jauh lebih penting bagi siswa terlupakan. Proses pendidikan matematika seperti itu sangat memungkinkan anak hanya mengahafal tanpa mengerti, padahal semestinya boleh menghafal hanya setelah mengerti.
Sebenarnya ada tujuh nilai yang dapat secara bertahap kita sampaikan kepada siswa atau mereka yang sedang belajar matematika, di antaranya:
1. Nilai Praktis dan Nilai Guna
Nilai praktis meliputi kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan kegunaan matematika untuk mempelajari cabang ilmu yang lain. Beberapa contoh penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembangungan Piramida (Kebudayaan Mesir Kuno), Colosseleum (Kebudayaan Romawi Kuno). Selain itu, dapat pula dijumpai pada kebudayaan Andalusia berupa istana-istana seperti istana Al-Hambra. Secara umum, kontruksi bangunan apapun memerlukan penerapan matematika.
Sedangkan untuk nilai guna, seseorang yang menganggap matematika berguna baginya akan berusaha mempelajari dan melaksanakannya walaupun ia tidak tertarik. Dalam kondisi ini tampak bahwa motivasi yang terjadi merupakan motivasi ekstrinsik, namun pada akhirnya pemahaman yang terbentuk dari pembelajaran matematika yang tidak diminati tersebut akan membawa seseorang cenderung mengembangkan ilmu matematika dan penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Nilai Kedisiplinan
Nilai disiplin matematika tumbuh akibat penerapan aturan berupa aksioma, rumus, atau dalil secara ketat dalam belajar matematika, sehingga membentuk pola pikir yang disiplin, sistematis dan teratur. Kebiasaan siswa menganalisis dengan teliti suatu situasi sebelum pengambilan keputusan sangat membantu dalam situasi hidup yang kompleks, di mana pengambilan keputusan menjadi makin sulit.
3. Nilai Budaya
Nilai budaya matematika terpancar dari peran matematika dalam dunia seni, serta penampakan matematika dalam menunjukkan tingkat peradaban manusia. Mode hidup anggota masyarakat sangat besar ditentukan oleh kemajuan teknologi dan sains, yang pada gilirannya tergantung pada kemajuan dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, perubahan gaya hidup dan begitu pula budaya secara kontinu terpengaruhi oleh kemajuan matematika. Selain itu, matematika juga membantu dalam pemeliharaan dan penerusan tradisi budaya kita.
4. Nilai Sosial
Matematika membantu menyesuaikan organisasi dan memelihara suatu struktur sosial yang berhasil. Matematika berperan penting dalam menyusun institusi sosial seperti bank, koperasi, rel kereta, kantor pos, perusahaan asuransi, industri, pengangkutan, navigasi dan lain sebagainya. Transaksi bisnis yang efektif, ekspor dan impor, perdagangan dan komunikasi kini tak dapat berlangsung tanpa matematika. Kesuksesan seseorang dalam sebuah masyarakat tergantung sebaik apa dia dapat menjadi bagian masyarakat, kontribusi apa yang dapat dia berikan bagi kemajuan masyarakat, dan sebagus apa dia dapat diuntungkan oleh masyarakat.
5. Nilai Moral
Studi matematika menolong siswa dalam pembentukan karakternya lewat berbagai cara. Matematika membentuknya ke sikap yang sesuai, seperti tidak ada ruang untuk perasaan yang merugikan, pandangan yang menyimpang, diskriminasi, dan berpikir tak masuk akal. Matematika membantunya dalam analisis obyektif, memberikan alasan yang benar, kesimpulan yang valid (sah) dan pertimbangan yang tak berat sebelah. Nilai-nilai moral ini tertanam dalam pikiran karena perulangan dan membantunya menjadi anggota masyarakat yang berhasil.
6. Nilai Estetika (Seni/Keindahan)
Matematika makin kaya dengan daya tarik keindahannya. Kerapian dan kecantikan hubungan matematis menyentuh emosi kita, lebih seperti musik dan seni yang dapat mencapai kedalaman jiwa dan membuat kita merasa benar-benar hidup. Kehalusannya, keharmonisannya, kesimetrian segala sesuatunya menambah kecantikannya. Musik atau seni adalah keluaran sederhana dari kecantikan abadi ini.
7. Nilai Rekreasi (Hiburan)
Matematika memberikan suatu ragam peluang hiburan untuk mendewasakan orang sebagaimana anak-anak. Matematika menghibur orang lewat aneka puzzle, permainan, teka-teki, dan lain-lain. Permainan video komputer modern juga dibangun melalui penggunaan matematika yang semestinya. Arti penting dari jenis rekreasi matematis adalah ia memampukan seseorang membangun imajinasinya, menajamkan intelektualitasnya dan mengukir rasa puas pada pikirannya. Untuk beberapa praktisi matematik, kesenangan harian menguraikan hubungan matematis yang aneh selalu menjadi hal yang menghibur.
Dalam dunia yang sudah melek teknologi ini, kita tidak dapat memikirkan suatu masyarakat yang bebas matematika. Masyarakat harus membuka mata dan mengakui kebaikan dan manfaat matematika. Harus ada pergeseran dari matematika yang cuma digeluti guru dan akademisi menuju ke matematika yang memasyarakat, yaitu matematika yang tidak hanya diajarkan tetapi juga dibelajarkan, khususnya dalam hal nilai sosial-budayanya.
Peran Etnomatematika dalam Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif aksiomatis. Objek matematika ada 4 (empat), yakni fakta, konsep, prinsip, dan skill. Objek matematika berada di alam pikiran manusia. Hasil budidaya manusia dapat berupa bangunan, seperti candi, masjid, kelenteng, gereja, pura, rumah tinggal, dan berbagai bentuk bangunan lainnya. Setiap manusia berusaha mencipta, berdasar rasa dan karsanya. Hasil cipta manusia membentuk kebudayaan, yang dapat berupa bangunan fisik dan nilai-nilai budaya.
Pengamatan secara detail pada sebuah bangunan, Candi Borobudur misalnya, akan ditemukan berbagai jenis bangun datar, seperti persegi, persegi panjang, segitiga, dan lingkaran. Dari berbagai jenis bangun datar tadi dapat direkonstruksi bangun datar layang-layang, belah ketupat, maupun trapesium. Pada bangunan yang sama akan ditemukan pula berbagai jenis bangun ruang, seperti kubus, balok, bola, prisma, maupun tabung. Secara khusus dapat direkonstruksi adanya bangun kerucut.
Berbagai jenis bangun datar dan bangun ruang ternyata dapat ditemukan pula pada masjid, gereja, klenteng, maupun wihara, termasuk juga rumah adat. Pertanyaan sederhana yang mengemuka adalah, mana yang lebih dulu ada, konsep-konsep bangun datar yang ada di pikiran manusia ataukah bentuk-bentuk bangun datar dan bangun ruang yang tersebar di berbagai jenis bangunan di atas.
Materi matematika yang diajarkan di sekolah merupakan konsep-konsep matematika yang ada di pikiran manusia. Pembelajarannya dimulai dengan merumuskan unsur-unsur yang tidak didefinisikan (titik, garis, dan bidang) dan unsur-unsur yang didefinisikan. Konsep lingkaran misalnya, didefinisikan sebagai tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap titik tertentu, yang kemudian disebut pusat lingkaran. Benda yang berbentuk lingkaran dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa uang logam dan roda (sepeda, motor atau mobil). Benda berbentuk lingkaran terbentuk bila seorang petani memutar cemeti saat membajak tanah.
Konsep matematika yang ada di pikiran manusia terkadang berbeda dengan matematika yang ada di kenyataan. Hal ini sejalan dengan Hiebert & Carpenter (1992), pengajaran matematika di sekolah dan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh sebab itu pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.
Pembelajaran matematika membutuhkan suatu pendekatan agar dalam pelaksanaanya memberikan keefektifan. Sebagaimana dari salah satu tujuan pembelajaran itu sendiri bahwa pembelajaran dilakukan agar peserta didik dapat mampu menguasai konten atau materi yang diajarkan dan menerakannya dalam memecahkan masalah. Untuk mencapai tujuan pembejaran ini mestinya guru lebih memahami faktor apa saja yang berpengaruh dalam lingkungan siswa terhadap pembelajaran. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran adalah budaya yang ada di dalam lingkungan masyarakat yang siswa tempati. Budaya sangat menentukan bagaimana cara pandang siswa dalam menyikapi sesuatu. Termasuk dalam memahami suatu materi matematika. Ketika suatu materi begitu jauh dari skema budaya yang mereka miliki tentunya materi tersebut sulit untuk dipahami. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang mampu menghubungkan antara matematika dengan budaya mereka.
Etnomatematika merupakan jembatan matematika dengan budaya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa etnomatematika mengakui adanya cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dalam aktivitas masyarakat. Dengan menerapakan etnomatematika sebagai suatu pendekatan pembelajaran akan sangat memungkinkan suatu materi yang dipelajari terkait dengan budaya mereka sehingga pemahaman suatu materi oleh siswa menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait langsung dengan budaya meraka yang merupakan aktivitas mereka sehari-hari dalam bermasyarakat. Tentunya hal ini membantu guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran untuk dapat memfasilitasi siswa secara baik dalam memahami suatu materi. Salah satu contoh keberhasilan dari pembelajaran berbasis enomatematika adalah pembelajaran di Jepang dan Cina (Achor dkk, 2009).
Penelitian tentang etnomatematika terus dikembangkan, terutama Etnomatematika dalam pembelajaran matematika. Richardo (2016) melakukan penelitian mengenai peran etnomatematika dalam penerapan pembelajaran matematika pada kurikulum 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hadirnya etnomatematika dalam pembelajaran matematika memberikan nuansa baru bahwa belajar matematika tidak hanya terkungkung di dalam kelas tetapi di dunia luar dengan mengunjungi atau berinteraksi dengan kebudayaan setempat sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran matematika. Sementara itu, dilihat dari sisi pendekatan pembelajaran, maka etnomatematika selaras dengan pendekatan pembelajaran matematika yang cocok jika diterapkan dalam kurikulum 2013.
Menurut Inda Rahmawati (2012) mengatakan bahwa strategi yang digunakan guru untuk mengajarkan matematika berbasis etnomatematika yaitu menerapkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Strategi kedua tersebut merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Selain itu, cara lain memanfaatkan etnomatematika dalam pembelajaran adalah dengan menjadikan pengetahuan tentang etnomatematika tersebut sebagai bahan rujukan dalam penyampaian materi maupun dalam pembuatan soal pemecahan masalah kontekstual yang sesuai dengan budaya siswa.
Matematika Sebagai Hasil Budaya
Perkembangan dalam dunia matematika tidak hanya di satu wilayah tertentu, melainkan di berbagai Negara. Di Indonesia pertumbuhan dan perkembangan matematika dapat terlihat dari segi kehidupan bermasyarakat, baik dari segi hubungan sosial maupun budaya. Karena tantangan hidup yang dihadapi masyarakat di berbagai wilayah dengan latar belakang budaya yang berbeda, maka pertumbuhan dan perkembangan dunia matematika tersebut secara garis besar tidak dapat disamakan. Setiap budaya mengembangkan matematika dengan cara mereka sendiri, sehingga matematika dipandang sebagai hasil pikiran manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini didukung oleh Sembiring (dalam Prabowo, 2010) bahwa matematika adalah konstruksi budaya manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika sebagai hasil budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran manusia dan alat pemecahan masalah.
Permainan tradisional diturunkan dari nenek moyang bangsa Indonesia pada kelompok masyarakat. Dalam permainan tradisional alat yang digunakan murah dan sederhana serta tidak menggunakan peralatan berbasis teknologi. Sedangkan anak-anak jaman sekarang tidak mengenal permainan tradisional, tetapi lebih tertarik bermain gadget yang menggunakan peralatan canggih. Nur (2013) menyatakan bahwa fakta yang terjadi sekarang adalah kegiatan bermain anak dewasa beralih pada permainan modern dengan perangkat teknologi seperti video game dan game online. Permasalahan ini merupakan tugas kita bersama agar budaya permainan tradisional tidak hilang dan terlupakan oleh anak-anak bangsa Indonesia.
Siswa merasa senang dengan permainan tradisional yang diintegrasikan dalam pembelajaran matematika. Hal ini selaras dengan pendapat Tarmizi dan Utami (2014) yaitu permainan tradisional dakon yang digunakan dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan minat belajar siswa.
Pada jaman dahulu konsep matematika dalam pembangunan rumah adat Jawa belum mengenal materi dasar konstruksi bangunan seperti yang sekarang diajarkan pada sekolah formal yaitu konsep – konsep geometri, akan tetapi mereka dapat membangun bangunan yang megah dan tahan lama jika dibandingkan dengan bangunan jaman sekarang. Mereka hanya menggunakan perkiraan, satuan lokal, dan menerapkannya dengan tata cara, tata bangunan sesuai dengan landasan filisofis, etis serta ritual yang mereka yakini. Konsep matematika sebagai hasil budaya telah mengimplementasikan salah satu ilmu matematika yaitu geometri dalam pembangunan rumah adat.
Pertama kali umat Islam mulai membangun kubah yaitu kubah batu di Masjid Umar Yerussalem, setelah melihat megahnya kubah-kubah yang dibangun oleh bangsa Romawi dan Kristen. Kubah ini dibangun pada masa kekhalifahan Abdul Malik pada tahun 685-688 M. Akhirnya didirikannya kubah masjid di peradaban Islam, arsitektur kubah mulai menjalar ke berbagai negara-negara Islam lainnya. Seperti Mesir, Iran, Pakistan, Asia Tengah dan India, akan tetapi di negara Arab kubah belum terlalu digunakan pada arsitektur masjid. Sedangkan di Indonesia masjid pertama berkubah yaitu masjid baiturakhman di Banda Aceh, karya arsitek Belanda de Bruijn sebagai pengganti masjid raya Banda Aceh yang berarsitektur vernakular yang dibakar belanda sebelumnya (Ruslan dalam Zahroh, 2018). Dalam pembuatan kubah enamel tidak lepas dari konsep-konsep matematika. Bentuk dasar dari sebuah kubah merupakaan bola yang terpotong, sehingga dalam proses perhitungan pembuatan kubah enamel banyak menggunakan rumus lingkaran meliputi keliling lingkaran, luas lingkaran dan luas selimut bola.
Permainan Tradisional yang Berkaitan dengan Matematika
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas bermain berkaitan dengan aktivitas mengelompokkan, menghitung atau membilang, dan lainnya dapat diungkap dari masing-masing permainan tersebut memiliki konsep matematika sebagai berikut.
1. Hompimpa
Hompimpa dan suit merupakan salah satu permainan tradisional yang masih sering dipakai sampai saat ini. Hompimpa atau gambreng adalah permainan yang dilakukan untuk mengawali berbagai permainan lainnya. Hompimpa diucapkan sambil meletakkan tangan saling berhimpitan. Masing-masing anak akan membalikkan tangan mereka menjadi telapak tangan yang putih atau tidak membalikkannya. Warna mana antara telapak tangan dan belakang tangan yang paling sedikit, dialah yang menjadi pemenang.
Tujuan permainan ini adalah agar para pemain dapat dengan mudah menentukan siapa yang akan menjadi pemain pertama dalam suatu permainan. Dengan kata lain, hompimpa dilakukan untuk memilih starter atau pemain pertama. Biasanya hompimpa dilakukan sebagai awal dari suatu permainan lainnya.
Dapat dilihat bahwa konsep matematika yang terkandung dalam permainan ini adalah konsep peluang. Dapat dihitung peluang seorang pemain untuk dapat memenangkan permainan, begitupun peluang seorang pemain untuk kalah. Tentu saja, semakin banyak orang yang bermain maka semakin kecil peluang untuk menang.
2. Jangklet (engklek)
Engklek adalah permainan yang sudah ada secara turun temurun, permainanan ini dilakukan dengan cara berjalan atau melompat dengan menggunakan satu kaki (Margareta dalam Halimatussa’diah, 2018). Dalam permainan tersebut, anak-anak akan membilang mengenai langkah yang dilakukan. Selain itu, bentuk engklek juga merupakan bentuk geometris yang terdiri dari paduan persegi, persegi panjang dan trapezium.
3. Jantengan (bola bekel)
Permainan bekel biasanya dimainkan oleh 2-5 orang pemain dengan cara bermain sebagai berikut: (1) Siapkan bola bekel dan 5 buah biji bekel, kemudian pemain melakukan pengundian untuk menentukan urutan bermain; (2) Permainan dilakukan dengan mengumpulkan biji bekel setelah bola bekel dilambungkan ke udara, kemudian dilanjutkan dengan mengambil kembali bola setelah satu kali pantulan bola; (3) Pada babak pertama, pengumpulan biji bekel dilakukan secara bertingkat. Pada babak pertama, pemain mengambil 1 buah biji bekel pada pantulan bola pertama, mengambil 2 biji bekel pada pantulan bola kedua, dan seterusnya; (4) Permainan akan berganti ke pemain berikutnya apabila tidak berhasil mengumpulkan biji bekel pada pantulan bola bekel atau muncul pelanggaran yaitu menyentuh biji bekel lain saat mencoba mengumpulkan biji bekel; (5) Pada babak kedua, biji bekel diatur dengan posisi menunjukkan sisi yang sama; (6) Pada babak ketiga, biji bekel diatur sama dengan posisi menunjukkan sisi berbeda dari babak kedua; (7) Pemenang permainan ini adalah pemain pertama yang berhasil menyelesaikan setiap babak dalam permainan (tgrcampaign.com, 2019)
Dapat dilihat bahwa konsep membilang, penjumlahan serta pengurangan muncul di permainan ini pada saat anak menghitung biji bekel yang akan diambil, yaitu secara bertingkat dari 1 sampai dengan 5. Konsep peluang juga dapat dilihat dari permainan ini yang ditandai dengan dilakukannya pengundian di awal permainan. Selain kedua konsep tersebut, konsep translasi juga dapat ditemukan di permainan ini, yaitu ketika pemain menggeser biji bekel pada babak kedua dan ketiga.
4. Lompat tali
Lompat tali merupakan sebuah permainan dimana satu orang atau lebih melompati sebuah tali yang dikibas-kibaskan sehingga kibasan tali tersebut melintasi bagian bawah kaki mereka dan atas kepala mereka (Wikipedia.org). Dapat dilihat bahwa konsep ruas garis lengkung muncul ketika pemain mengibas-kibaskan tali tersebut. Lompat tali juga terkadang dilakukan dengan dua orang anak memegang ujung tali kemudian anak lainnya akan melompati tali. Ketika kedua anak tersebut masing-masing menarik ujunganya, maka akan terbentuk sebuah ruas garis lurus.
5. Bermain pasir
Bermain pasir biasanya dilakukan di pantai, ini dikarenakan pasir yang melimpah. Akan tetapi, permainan ini bisa dilakukan dimana pun asalkan medianya yang berupa pasir tersedia. Berbagai bentuk dapat dibuat dengan pasir pada permainan ini. Seperti pada pembuatan miniatur istana, terdapat bentuk-bentuk geomteris seperti persegi panjang, persegi. Selain itu, juga melibatkan konsep bangun ruang seperti kerucut, limas, balok dan kubus.
6. Sengidanan (petak umpet)
Permainan ini sangat sering dijumpai di Kawasan Nusantara. Permainan ini dilakukan oleh beberapa orang dengan terlebih dahulu melakukan pengundian untuk menentukan pemain yang menghitung sambil menutup mata. Setelah itu, pemain lainnya akan bersembunyi. Setelah hitungan kesepuluh, pemain yang jaga akan mencari pemain lainnya hingga pada akhirnya semua pemain tersebut ditemukan. Pemain yang jaga berikutnya adalah pemain yang ditemukan pertama kali.
Konsep peluang muncul pada saat pengundian untuk menentukan pemain yang jaga terlebih dahulu. Selain itu, dapat ditemui konsep membilang pada permainan ini, yaitu ketika pemain yang jaga berhitunga dari 1 hingga 10.
7. Congklak
Congklak merupakan salah satu dari sekian banyaknya permainan tradisional yang ada di Indonesia (Fitria, 2018). Congklak adalah alat permainan tradisional yang terdiri dari lubang sejajar dan memiliki lubang besar serta memiliki satu diujung kanan dan satu lagi diujung kiri. Alat peraga permainan congklak dapat digunakan untuk memahami operasi hitung perkalian dan pembagaian. Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kanannya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya berlawanan arah jarum jam. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak. (Wikipedia.org)
Konsep matematika dalam permainan ini adalah berhitung, penjumlahan dan pengurangan, yaitu dalam menentukan biji yang tersisa setelah giliran lawan. Selain itu, dapat dijumpai konsep perkalian dan pembagian pada permainan tersebut, yaitu ketika di awal permainan, para pemain akan membagikan 98 biji congklak ke 14 buah lubang. Ataupun ketika para pemain hendak memasukkan masing-masing 7 biji congklak ke dalam 14 lubang tersebut.
Dari permainan-permainan tersebut, etnomatematika dalam pembelajaran matematika merupakan hal yang luas. Implementasi permainan tersebut tentu saja akan lebih meningkatkan ketertarikan siswa tentang matematika.
Penutup
Etnomatematika merupakan titik temu antara matematika dan budaya. Dapat dikatakan bahwa beberapa konsep matematika merupakan hasil budaya. Selain itu, suatu kebudayaan dapat memunculkan matematika baru. Wilder, White, Fettweis, Luquet dan Raum dapat dianggap sebagai pelopor utama dari etnomatematika. Terkait dengan hubungan matematika dan budaya, matematika memiliki nilai-nilai bagi masyarakat, di antaranya adalah nilai praktis dan nilai guna, nilai kedisiplinan, nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, nilai estetika dan nilai hiburan.
Perkembangan etnomatematika mendorong berbagai penelitian terkait dengan bidang tersebut, baik terkait dengan hubungan matematika dengan budaya-budaya tertentu maupun pengembangan pembelajaran matematika berbasis etnomatematika untuk meningkatkan kemampuan siswa. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan karakteristik tersebut dapat meningkatkan kemampuan siswa terkait dengan kognitif.
Permainan tradisional merupakan salah satu hasil budaya. Beberapa permainan tradisional yang erat kaitannya dengan matematika adalah hompimpa, jangklet, jantengan, lompat tali, bermain pasir, sengidanan dan congklak.
Perkembangan etnomatematika relatif baru, sehingga dibutuhkan kajian yang lebih mendalam, baik pengkajian mengenai hubungan matematika dengan budaya-budaya tertentu maupun penerapan etnomatematika terutama dalam pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka
Abi, A. M. (2017). Integrasi etnomatematika dalam kurikulum matematika sekolah. JPMI (Jurnal Pendidikan Matematika Indonesia), 1(1), 1-6.
Achor, E. E., Imoko, B., & Uloko, E. (2009). Effect of ethnomathematics teaching approach on senior secondary students’ achievement and retention in locus. Educational research and review, 4(8), 385-390.
Anonim. (2019). Mengenal Permainan Tradisional: Bekel. Sumber: https://tgrcampaign.com/read/77/mengenal-permainan-tradisional-bekel.
Bishop, A. J., Clements, M.K., Clements, K., Keitel, C., Kilpatrick, J., & Laborde, C. (Eds). (1996). International handbook of mathematics education. Springer Scince & Business Media.
Fahrurrozi, M. (2015). Pembelajaran Berbasis Budaya: Model Inovasi Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. PROSIDING.
Fitria, S. R. (2018). Efektivitas alat peraga Congklak pada pembelajaran Matematika materi pembagian (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Mataram).
Halimatussa’Diah. (2018). Pengenalan Bangun Datar Dari Permainan Tradisional Engklek untuk Anak Tk
Hardiarti, S. (2017). Etnomatematika: Aplikasi Bangun Datar Segiempat Pada Candi Muaro Jambi. Aksioma, 8(2), 99-110.
Joesoef, D. (1982). Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam. Majalah Kebudayaan, (1).
KBBI. (n.d). Budaya. Diperoleh 15 Desember 2019 dari https://kbbi.web.id/budaya.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar llmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta.
Laurens, T. (2016). Analisis Etnomatematika dan Penerapannya dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar, 3(1), 86-96.
Marvin, H. (1999). Theories of Culture in Postmodern Times. New York: Altamira Press.
Nur, H. (2013). Membangun karakter anak melalui permainan anak tradisional. Jurnal Pendidikan Karakter, (1).
Prabowo, P., Sidi, P. (2010). Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika. Proceedings of the 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Rachmawati, I. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Masyasarakat Sidoarjo. MATHEdunesa, I (1).
Rahmawati, Y., & Muchlian, M. Eksplorasi Etnomatematika Rumah Gadang Minangkabau Sumatera Barat.
Richardo, R. (2017). Peran ethnomatematika dalam penerapan pembelajaran matematika pada kurikulum 2013. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 7(2), 118-125.
Sawitri, U.N., (2018). Etnomatematika Melalui Pendekatan Permaian Hompimpa Dengan Model Kooperatif Pada Materi Peluang. Simki-Techsain, II (10).
Soedjadi, R. (2007). Masalah Konstekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.
Supriadi. (2010). Pembelajaran Etnomatematika dengan Media Lidi dalam Operasi Perkalian Matematika untuk Meningkatkan Karakter Kreatif dan Cinta Budaya Lokal Mahasiswa PGSD. Jurnal Seminar Nasional STKIP Siliwangi. Serang: Sekolah Pascasarjana UPI.
Tarmizi, Nasrun, M., & Utami, S. (2014). Peningkatan Minat Belajar Peserta Didik Melalui Permainan Tradisional Dakon Pada Pembelajaran Matematika di SD. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 3(6).
Wahyuni, A., Tias, A. A. W., & Sani, B. (2013, November). Peran etnomatematika dalam membangun karakter bangsa. In Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Prosiding, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta: UNY.
Wikipedia. (2019, 6 September). Congklak. Diperoleh 15 Desember 2019 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Congklak.
Wikipedia. (2019, 8 Desember). Lompat tali. Diperoleh 15 Desember 2019 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Lompat_tali.
Yulita, R. (2017). Permainan Tradisional Anak Nusantara. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Jakarta Timur
Zahroh, U. (2018). Penerapan Pembelajaran Berbasis Etnomatematika. blog.iain-tulungagung.ac.id.
Zayyadi, M. (2018). Eksplorasi Etnomatematika Pada Batik Madura. Sigma, 2(2), 36-40.